Perbedaan Antara Wukuf di Arafah dan Puasa 9 Dzulhijjah di Indonesia

   
Perbedaan Antara Wukuf di Arafah dan Puasa 9 Dzulhijjah di Indonesia

Perbedaan Antara Wukuf di Arafah dan Puasa 9 Dzulhijjah di Indonesia

 

Oleh: Muhammad Yusuf

(Dosen UIN Alauddin Makassar dan Dosen Pascasarjana STAI Al-Furqan)

Prolog

Beberapa hari ini, saya mendapatkan banyak kiriman artikel, video ceramah, dan sejenis lainnya. Isinya tentang perbedaan puasa arafah dan wukuf di Arafah bagi jamaah hajji. Tulisan itu bermacam-macam kecenderungannya. Namun secara umum, saya mengategorikannya dalam tiga kecenderungan. Pertama, cenderung merujuk kepada Arab Saudi. Kedua, cenderung mengikuti pemerintahnya di mana ia berada. Ketiga, cenderungan menampakkan kebingungannya (merujuk Arab Saudi antara Pemerintah Indonesia). Akan tetapi ketika merujuk ke Pemerintah Indonesia, Majelis Ulama Indonesia sendiri memberi ruang perbedaan. 

Hal inilah yang semakin menimbulkan rasa penasaran –untuk menghindari istilah membingunkan- masyarakat di tingkat bawah. Bagi ilmuwan yang paham akan perbedaan ini tidak masalah, bahkan mungkin menikmatinya. Akan tetapi, ilmuwan dalam konteks ini jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang bingung. Bagi yang bingung, ada baiknya ikut Pemerintah saja. Atau kalau anda sebagai bagian dari ormas Islam yang berbeda dengan Pemerintah, boleh ikut dengan keputusan ormasnya dengan tetap toleran dan menjaga etika dalam perbedaan.

Wukuf di Arafah dan Puasa Arafah sama kah?

Ketika Pemerintahan Saudi Arabiyah menetapkan wukuf di Arafah untuk jamaah haji tahun 1443H/2022 M ini jatuh pada Jumat, 8 Juli 2022 maka itu berarti Pemerintah Saudi menetapkan hari itu sebagai tanggal 9 Dzulhijjah dan hari Sabtunya Idul Adha. Berbeda halnya dengan Kementerian Agama Republik Indonesia yang memutuskan ternyata dari hasil rukyat yang dilakukan menetapkan 1 Dzulhijjah itu jatuh pada hari Jumat, 1 Juli 2022. Artinya, tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu dan hari Ahadnya Idul Adha.

Perbedaan hasil rukyat kedua negara ini membuat ramai sebagian masyarakat Indonesia. Tentu saja ada yang bingung, terutama dalam menentukan kapan kita yang di Indonesia ini melaksanakan puasa sunnah Arafah? Untuk selanjutnya juga membingungkan, kapan kita berlebaran, ikut pemerintah Saudi atau Indonesia? Pertanyaan serupa ini paling sering saya terima. Kalau kita menggunakan logika, sudah jelas jamaah haji melakukan wukuf arafah pada 8 Juli, tetapi malah di Indonesia melaksanakan puasa Arafah di tanggal 9 Juli. Padahal puasa Arafah dilaksanakan pada waktu jamaah haji melakukan wukuf Arafah. Benarkah demikian? Inilah inti pertanyaan yang perlu dijelaskan, yaitu Puasa Arafah dan Wukuf Arafah.

Perlu diketahui, hari Arafah adalah hari di mana semua jamaah haji melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arafah, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa ‘Al-Hajju Arafah’ Haji itu Arafah. Dan hari Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Jadi wukuf di Arafah itu harus bertepatan dengan dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 Dzulhijjah, dan tempatnya adalah di Arafah. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf di mana waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, waktu di mana para jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Dalam konteks ini terdapat titik temu antara dua jenis ibadah ini (wukuf dan puasa), yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Hal yang perlu diketahui bahwa dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga ibadah wukuf akan tetap sah walaupun orang-orang di luar Mekkah tidak sedang melaksanakan ibadah puasa. Sebaliknya, ibadah puasa sunnah tanggal 9 Dzulhijjah itu juga tetap sah walaupun orang yang sedang berhaji itu tidak wukuf lagi.

Puasa Arafah bukan karena jamaah hajji wukuf, tetapi puasa itu dilakukan karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Begitu pula sebaliknya, wukuf itu dilakukan bukan karena orang di luar Saudi puasa, tetapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Karena standar ibadah kita adalah waktu. Ketika Nabi SAW berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah ternyata belum ada umat Islam yang wukuf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah (akhir periode Madinah). Sementara puasa tanggal 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah (awal-awal periode Madinah) menurut sebagian riwayat. Jadi Rasulullah SAW bukan berpuasa Arafah, tetapi puasa 9 Dzulhijjah”.

Bagaimana Menentukan Tanggal 9 Dzulhijjah?

Lalu bagaimanakah menentukan tanggal 9 Dzulhijjah? Di sinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan. Sehingga langkah menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 Dzulhijjah. Dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan. Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; Hisab Wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya. Ini juga sedikit istilah “Wujud al-Hilal”. Hilal itu selalu wujud, hanya saja posisi hilalnya yang dipermasalahkan. Di sinilah pintu gerbang masalah pendekatan hisab dan rukyat. Poinnya terdapat pada penentuan (angka dalam derajat) dilihat dari posisinya. 

Kita arahkan kembali kepada penetapan tanggal 1 Dzulhijah yang ternyata berbeda dengan negeri lainnya. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini setiap negeri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya keputusan ini bukan dengan semaunya kita, tetap harus melalui metode yang benar. 

Lalu adakah dalilnya? Masalah ini disandarkan kepada hadits Kuraib yang sudah masyhur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya: “Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku." “Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. “Kami melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. “Kamu melihatnya sendiri ?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa”, jawab Kuraib. Ibnu Abbas menjelaskan: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”. Jawab Ibnu Abbas, “Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580).

Berdasarkan kisah Kuraib tersebut, dapat diambil beberapa pelajaran bahwa walaupun pada waktu itu umat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keputusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang dan menentang’ kepemimpinan Muawiyah. Nah, jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Arab Saudi boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.

Kembali lagi ke pertanyaan awal. Terhadap perbedaan ini, ikut Arab Saudi atau pemerintah Indonesia? Ada pendapat yang bisa dijadikan patokan, yang bersumber dari salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal (negeri tempat tinggalnya), dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukakan dalam fatwanya, “Dan yang benar itu adalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka. Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal daripada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan berbukalah” (Majmu’ Fatwa Ibnu Utsaimin).

Terkait dengan fatwa Ibnu Utsaimin di atas, saya juga punya pengalalama safar di bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu saya melaksanakan perjalanan di bulan Ramadhan. Diantaranya, saya beberapa kali melaksanakan puasa. Saya sahur di Papua Barat. Setelah sahur dan salat subuh di Bandara, saya terbang menuju ke Jakarta dengan transit di Bandara Sultan Hasanuddin di Maros. Dari situ saya melanjutkan perjalanan dengan penerbangan menuju Cengkareng di Jakarta. Untuk diketahui, waktu Papua lebih cepat satu jam daripada Waktu Maros/Makassar. Sedangkan Waktu Maros satu jam lebih cepat daripada waktu di Jakarta. Begitu tiba waktu berbuka puasa maka saya ikut waktu setempat di Jakarta (bukan Maros dan bukan pula Papua Barat). Artinya, saya berpuasa lebih lama 2 jam dibanding dengan waktu puasa orang mukim (baik di Papua maupun di Jakarat). Berbeda halnya apabila saya sahur di Jakarta lalu buka di Papua maka saya berpuasa lebih singkat dua jam dari waktu normal karena saya mesti ikut waktu setempat. Jika anda merasa berat seperti melakukan seperti apa yang saya lakukan itu (tetap berpuasa ketika menjadi musafir) maka Islam memberikan dispensasi untuk tetap untuk berbuka dengan tetap berniat untuk menggantinya kelak di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan. Itulah namanya puasa qadha (Bugis: puasa kalla). 

Begitu juga waktu salat, kita mengikut waktu salat setempat di mana kkita berada. Akan tetapi, jika anda tidak mau melaksanakan salat di setiap waktu salat wajib di tempat anda berada maka ada alternatif lain, yaitu anda boleh menjamak (mengmupulkan dhuhur-ashar dan magrib-isya) sekaligus menqasharnya (menyingkatnya yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat saja). Mudah, kan? Hikmah perbedaan waktu di setiap wilayah dan negeri itulah sehingga manusia di pelanet bumi ini tidak pernah berhenti bersujud kepada Allah. Perbedaan itu indah, kan? Islam hadir selalu memberi solusi, maka marilah kita bersiap-siap berbagi daging qurban meskipun berbeda hari lebaran. 

Epilog

Masalah perbedaan tersebut tidaklah sulit, tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakukan usaha dalam penentuan awal Dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Arab Saudi. Untuk mereka yang sekarang berada di Arab Saudi, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa Ramadhan, puasa 9 Dzulhijjah dan dua lebaran “boleh-boleh” saja mengkuti keputusan Saudi. Yang tidak boleh adalah bertengkar dan saling merendahkan karena perbedaan. Hukumnya jelas haram dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama. Sedangkan puasa tanggal 9 Dzulhijjah dan Salat idul adha juga Sunnah muakkadah menurut mayoritas ulama. Lalu mengapa harus melakukan yang haram (dengan bertengkar dan saling merendahkan) demi memprioritaskan yang Sunnah (puasa 9 Zulhijjah dan salat idul adha?). Puasa dan salat idul adha keduanya memang sangat penting dan dikuatkan (muakkadah), apalagi hanya sekali dalam setahun. Akan tetapi, perlu diingat, menjaga dan memelihara persaudaraan dan silaturrahmi hukumnya wajib sepanjang waktu. Tidak pantas kita meninggalkan yang wajib demi yang Sunnah terutama bila dilihat dari pendekatan fiqh awlawiy. Akhirnya, untuk semua saudaraku di mana pun ada berada saya mengucapkan “selamat hari raya Idul Adha"

Last update

1 Comments

+ Add
Semakin dapatki pencerahan ..salam Doktor..!
Add Comment